Selasa, 20 Mei 2014

"Suku Toraja di Sulawesi"

"Suku Toraja di Sulawesi"

“CERITA DARI TANAH TORAJA”
Oleh
Kelompok 3
(Universitas Muhammadiyah Purworejo)
Rumah adat Sulawesi

Provinsi Sulawesi Selatan terletak di 0°12' - 8° Lintang Selatan dan 116°48' - 122°36' Bujur Timur.Luas wilayahnya 45.764,53 km². Provinsi ini berbatasan dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat di utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di timur, Selat Makassar di barat dan Laut Flores di selatan. Penduduk propinsi Sulawesi selatan terdiri dari empat suku bangsa ialah: Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Namun,pada kesempatan kali ini yang akan kami bahas yaitu mengenai suku toraja.
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia.Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo.Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis,to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya.Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk,atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya.Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian),Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu.Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi.Ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya.Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga,tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka.Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka.Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan,ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan.Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan.Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak.Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar. Tongkongan memiliki tiang-tiang yang cukup tinggi, dan memiliki atas tiga bagian , yaitu yang disebut dengan rakkeang,bagiasn atas rumah yang persis berada dibawah atap. Biasanya digunakan untuk menyimpan bahan makanan seperti padi, pisang dan lain-lain.Di bagian ini juga disediakan tempat untuk menyimpan benda-benda keramat, seperti benda-benda pusaka milik keluarga; bagian lainnya disebut alebola yaitu bagian yang ditempati oleh penghuni rumah yang terdiri atas bagian-bagian yang ditempati oleh yang empunya rumah, ruang tamu, ruang makan, dan dapur.Bagian-bagian ini disebut dengan lontang; bagian lainnya ialah awasao yaitu bagian yang terletak dibawah lantai panggung.Biasanya dipergunakan untuk menyimpan alat-alat untuk pekerjaan mereka seperti cangkul, jala, dan lain-lain.Juga digunakan sebagai tempat ternak-ternak peliharaan seperti kerbau, kambing dan ayam.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat,akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Keragaman dalam bahasa Toraja
Denominasi
Populasi (pada tahun)
Dialek
Kalumpang
12,000 (1991)
Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
Mamasa
100,000 (1991)
Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
Ta'e
250,000 (1992)
Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
Talondo'
500 (1986)

Toala'
30,000 (1983)
Toala', Palili'.
Torajan-Sa'dan
500,000 (1990)
Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).
Sumber: Gordon (2005).

Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental.Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum(ritual terseebut disebut Ma'badong).Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya.Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya.Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman.Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu.Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum.Setelah penyembelihan kerbau dan babi,sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen.Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan.Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari.Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali.Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.

Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling.Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan,ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang.Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
Penduduk Sulawesi selatan,adalah pada umumnya petani seperti penduduk dari lain-lain daerah di Indonesia.Mereka itu menanam padi bergiliran dengan palawija disawah.Teknik bercocok tanamnya juga seperti dilain-lain tempat di Indonesia masih bersifat tradisional berdasarkan cara-cara intensif dengan tenaga manusia.Diberbagai tempat dipegunungan,dipedalaman dan ditempat-tempat terpencil lainnya disulawesi selatan,seperti didaerah orang toraja,banyak penduduk masih melakukan bercocok tanam dengan teknik peladangan.
Adapun pada orang bugis dan Makassar yang tinggal didesa-desa didaerah pantai,mencari ikan merupakan suatu mata pencaharian hidup yang amat penting.Dalam hal ini orang bugis dan Makassar menangkap ikan dengan perahu-perahu layar sampai jauh dilaut. Memang orang Bugis dan makassar terkenal sebagai suku bangsa pelaut di Indonesia yang telah mengembangkan suatu kebudayaan maritime sejak beberapa abad lamanya.Perahu-perahu layar mereka yang dari tipe penisi dan lambo telah mengarungi perairan nusantara dan lebih jauh dari itu telah berlayar sampai ke Srilangka dan Filipina untuk berdagang. Kebudayaan maritime dari orang bugis-makassar itu tidak hanya mengembangkan perahu-perahu layar dan kepandaian berlayar yang cukup tinggi,tetapi juga meninggalkan suatu hukum niaga dalam pelayaran ,yang disebut Ade’ Allopikoping Bicaranna Pabbalu’e dan yang tertulis pada lontar oleh Amanna Gappa dalam abad ke-17. Bakat berlayar yang rupa-rupanya telah ada pada orang bugis dan Makassar, akibat kebudayaan maritime dari abad-abad yang telah lampau itu.

Kecuali berlayar untuk mencari ikan menyusur pantai-pantai Sulawesi selatan,atau berdagang keberbagai tempat di nusantara. Orang bugis-makassar juga banyak menangkap teripang,seekor binatang laut (holothurioidea) yang dijual kepada tengkulak-tengkulak untuk diexsport ke china. Untuk menangkap teripang mereka berlayar sampai jauh kedaerah kepulauan tanimbar,kedaerah pantai Irian Barat dan ke Australia Utara. Terutama dalam abad ke-19 yang lalu export teripang itu maju sekali sampai permulaan abad ke-20 ini,kira-kira 1920 waktu usaha itu mulai mundur.
Sebelum perang dunia ke II,daerah Sulawesi selatan merupakan daerah surplus bahan makanan,yang mengexport beras dan jagung ke lain-lain tempat di Indonesia.
Adapun kerajinan rumah tangga yang khas dari Sulawesi Selatan adalah tenunan sarung sutera dari Mandar dan Wajo dan tenunan sarung Samarinda dari Bulukumba.
9. Sistem Teknologi dan Peralatan

Rakkala: alat pengolah tanah dalam sistem pertanian orang Bugis: Sulawesi Selatan
Petani membajak sawah daengan menggunakan tenaga sapi rakala adalah salah satu alat pengolah tanah tradisional dalam sistem pertanian orang bugis di Sulawesi Selatan.Alat tradisional ini berfungsi untuk menggemburkan tanah sebelum dilakukan penaburan benih dan penanaman padi.Alat ini terdiri dari beberapa komponen yang terbuat dari kayu-kayu berkualitas tinggi dan sepotong besi yang berbentuk pipih.Pengoprasian rakkala biasanya dilakukan oleh kaum laiki-laki dengan dibantu oleh tenaga hewan.
1.      Asal-Usul
Kemajuan teknologi pertanian yang semakin pesat dan serba canggih saat ini tidak serta merta mempengaruhi para petani untuk beralaih tekhnologi dari alat-alat tradisional ke alat-alat pertanian yang bertenaga mesin seperti : traktor dalam mengolah tanah pertanian. Meski demikian,penggunaan bajak tradisional masih banyak dijumpai dibeberapa daerah, khususnya didaerah pedalaman.
Sebagaian petani didaerah sulawesiselatan masih menggunakan bajak atau luku yang tergolong sederhana atau bersifat tradisional dalam mengolah sawah. Bajak tradisional dalam bahasa bugis disebut dengan rakkala, yaitu sebuah alat pertanian tradisional yang terbuat dari kayu dan sepotong besi berbebtuk pipih.Alat ini dugunakan oleh para petani untuk membajak sawah, baik sawah irigasi maupun sawah tadah hujan, untuk menggemburkan tanah. Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI,terbitan Balai Pustaka,Tahun 2005) juga mengartikan bajak sebagai perkakas pertanian yang terbuat dari kayu atau besi untuk menggemburkan dan membalikan tanah (KBBI,2005:91).
Tidak dapat dipastikan sejak kapan para petani diSulawesi Selatan menggunakan Rakkala sebagai alat pengolah tanah.
a.       Namun, ada beberapa alasan sehingga alat pengolah tanah tradisional atau rakkala tetap bertahan hingga saat ini, yaitu bernama, masih terdapatnya areal pertanian yang sulit dijangkau oleh traktor karena jaraknya jauh, atau karna areal pertanian tersebut berada didaerah perbukitan yang berbatu.
b.      Masih banyaknya petani yang memelihara hewan-hewan penarik rakkala seperti: sapi, nkerbau, dan kuda bajak.
c.       Kepemilikan lahan oleh sebagian petani relative tidak begitu luas sehingga penggunaan rakkala masih dianggap sangat efisien, dan
d.      Kekurang mampuan petani untuk menyewa traktor karna biaya sewa relative mahal (Dawias Rasyid MS,et al.,1991:149). Hingga saat ini, biaya sewa traktor mencapai Rp.400.000.00per hektar sawah.
Sebagain petani di Sulawesi Selatan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memelihara hewan-hewan penarik rakkala seperti sapi,kerbau,atau kuda, karena alasan-alasan tersebut di atas. Dengan demikian, biaya operasional pengolahan tanah dapat ditekan seminimal mungkin.Selain itu, memelihara ternak juga memberi manfaat lain bagi para petani jika ada keperluan mendesak.Hewan-hewan peliharaan tersebut dapat menjadi modal yang dapat dijual kapan saja.
Pembajakan sawah dilakukan oleh kaum laki-laki dan dibantu oleh tenaga hewan seperti sapi,kerbau, atau kuda.Membajak sawah dalam bahasa setempat disebut dengan maddakkala sedangakan para petani yang mengoprasikan alat tersebut dinamakan paddakala.
Petani diSulawesi selatan pada umumnya masih memanfaatkan sapi atau kerbau sebagai penarik rakkala.Khusus diKabupaten Soppeng, kebanyakan petani sudah menggunakan tenaga kuda sebagai penarikm bajak.Menurut petani didaerah ibu, penggunaan tenaga kuda lebih efisien dan lebih praktis dibandingkan dengan tenaga kerbau atau sapi. Nilai efisiennya adalah kuda lebih kuat dan lebih cepat menarik rakkala dari pada kerbau atau sapi sedangkan nilai praktisnya cukup menggunakan 1 ekor kuda saja (Darwas Rasyid MS,et al.,1991:111). Oleh karena itu seorang petani yang menggunakan tenaga kerbau atau sapi juga harus menyiapkan babba,yaitu sebuah cambuk yang terbuat dari tangkai bamboo atau rotan sebesar kelingking. Alat ini berfungsi sebagai pemicu agar hewan penarik rakkala tersebut dapat berjalan lebih cepat (Rasyid MS,et al.,1991:38).
DAFTAR PUSTAKA
Koentjoroningrat.1993.Manusiadan Kebudayaan Indonesia.Jakarta:Djambatan
Id.wikipedia.org/wiki/suku_toraja
Poesponegoro,marwati djoened,Nugroho Notosusanto.1984.Sejarah Nasional Indonesia IV.Jakarta:PN.Balai Pustaka
http://file://D:/MKI/rakakala.htm


































Tidak ada komentar:

Posting Komentar