"Suku Toraja di Sulawesi"
“CERITA DARI TANAH TORAJA”
Oleh
Kelompok 3
(Universitas Muhammadiyah Purworejo)
Rumah adat Sulawesi
Provinsi Sulawesi Selatan terletak di 0°12' - 8° Lintang Selatan dan
116°48' - 122°36' Bujur Timur.Luas wilayahnya 45.764,53 km². Provinsi ini
berbatasan dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi
Barat di utara, Teluk Bone dan Sulawesi
Tenggara di timur, Selat
Makassar di barat dan Laut Flores
di selatan. Penduduk propinsi Sulawesi selatan terdiri dari empat suku bangsa
ialah: Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Namun,pada kesempatan kali ini yang
akan kami bahas yaitu mengenai suku toraja.
Suku Toraja adalah suku yang menetap di
pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia.Populasinya
diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten
Mamasa.Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen,
sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme
yang dikenal sebagai Aluk To Dolo.Pemerintah Indonesia telah mengakui
kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis,to riaja,
yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah
kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.
Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan
dan ukiran kayunya.Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang
penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa
hari.
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang
disebut aluk,atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai
"hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga
dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara
berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.Alam semesta, menurut
aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia
bawah.Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah,
dan kemudian muncul cahaya.Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan
dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi
adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan
atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di
Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa
bumi), Pong Lalondong (dewa kematian),Indo' Belo Tumbang (dewi
pengobatan), dan lainnya.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan
ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa
seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama
aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman
yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan
orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman
yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang
luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung
padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang
ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan
merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu
tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang
bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan
cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku
Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba
tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah,
atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di
bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai
upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau
yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di
padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku
Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan
akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan
puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman
yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat
dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan
dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di
dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir.
Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di
beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota
keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua
dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di
sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk
dan membuat petinya terjatuh.
Dalam masyarakat Toraja awal,
hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada
tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang
biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan
pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas
sosial diturunkan melalui ibu.Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari
kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas
yang lebih tinggi.Ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan
berikutnya.Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih
dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang
dipercaya sebagai keturunan dari surga,tinggal di tongkonan,
sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu
yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di
dekat tongkonan milik tuan mereka.Rakyat jelata boleh menikahi
siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga
untuk menjaga kemurnian status mereka.Rakyat biasa dan budak dilarang
mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status
keturunan,ada juga beberapa gerak sosial yang
dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau
perubahan jumlah kekayaan.Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja
merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak
karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa
dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan.Budak bisa membeli
kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak.Budak
tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama
dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan
perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di
atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning.
Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon
("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja.
Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan
spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut
serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun
di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia
meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar. Tongkongan memiliki tiang-tiang yang cukup tinggi, dan
memiliki atas tiga bagian , yaitu yang disebut dengan rakkeang,bagiasn atas rumah yang persis berada dibawah atap.
Biasanya digunakan untuk menyimpan bahan makanan seperti padi, pisang dan lain-lain.Di
bagian ini juga disediakan tempat untuk menyimpan benda-benda keramat, seperti
benda-benda pusaka milik keluarga; bagian lainnya disebut alebola yaitu bagian yang ditempati oleh penghuni rumah yang
terdiri atas bagian-bagian yang ditempati oleh yang empunya rumah, ruang tamu,
ruang makan, dan dapur.Bagian-bagian ini disebut dengan lontang; bagian lainnya ialah
awasao yaitu bagian yang terletak dibawah lantai panggung.Biasanya
dipergunakan untuk menyimpan alat-alat untuk pekerjaan mereka seperti cangkul,
jala, dan lain-lain.Juga digunakan sebagai tempat ternak-ternak peliharaan
seperti kerbau, kambing dan ayam.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan
dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan.
Tongkonan layuk adalah tempat
kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan".
Tongkonan pekamberan adalah milik
anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa
tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin
berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang
menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang
biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja,
dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat,akan tetapi bahasa
Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana
Toraja.
Ragam bahasa di Toraja
antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala'
, dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun
bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya,
sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam
bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja,
beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang
diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari
keragaman dalam bahasa Toraja.
Keragaman dalam bahasa Toraja
Denominasi
Populasi (pada tahun)
Dialek
Kalumpang
12,000 (1991)
Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
Mamasa
100,000 (1991)
Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa
Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
Ta'e
250,000 (1992)
Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
Talondo'
500 (1986)
Toala'
30,000 (1983)
Toala', Palili'.
Torajan-Sa'dan
500,000 (1990)
Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja
Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).
Sumber: Gordon (2005).
Ciri yang menonjol dalam
bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara
kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan
duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.Bahasa Toraja
mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan
tekanan mental.Merupakan suatu katarsis bagi
orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa
kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk
mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam
upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk
menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan
menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria
membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum(ritual
terseebut disebut Ma'badong).Ritual tersebut dianggap sebagai
komponen terpenting dalam upacara pemakaman.Pada hari kedua pemakaman, tarian
prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian
almarhum semasa hidupnya.Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang,
prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen
lainnya.Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah
dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara
pemakaman.Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil
bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu.Tarian Ma'akatia bertujuan
untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum.Setelah
penyembelihan kerbau dan babi,sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk
tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Seperti
di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen.Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan
Syukur dan
tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang
menumbuk beras ada beberapa tarian perang, misalnya
tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti
oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan.Agama Aluk mengatur kapan
dan bagaimana suku Toraja menari.Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya
bisa dilakukan 12 tahun sekali.Ma'bua adalah upacara Toraja yang
penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling
pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja
adalah suling bambu yang disebut Pa'suling.Suling
berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan,ketika
alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan
berkuku jari panjang.Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya,
misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu
panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
Penduduk Sulawesi
selatan,adalah pada umumnya petani seperti penduduk dari lain-lain daerah di
Indonesia.Mereka itu menanam padi bergiliran dengan palawija disawah.Teknik
bercocok tanamnya juga seperti dilain-lain tempat di Indonesia masih bersifat
tradisional berdasarkan cara-cara intensif dengan tenaga manusia.Diberbagai
tempat dipegunungan,dipedalaman dan ditempat-tempat terpencil lainnya
disulawesi selatan,seperti didaerah orang toraja,banyak penduduk masih
melakukan bercocok tanam dengan teknik peladangan.
Adapun pada orang bugis dan
Makassar yang tinggal didesa-desa didaerah pantai,mencari ikan merupakan suatu
mata pencaharian hidup yang amat penting.Dalam hal ini orang bugis dan Makassar
menangkap ikan dengan perahu-perahu layar sampai jauh dilaut. Memang orang Bugis
dan makassar terkenal sebagai suku bangsa pelaut di Indonesia yang telah
mengembangkan suatu kebudayaan maritime sejak beberapa abad lamanya.Perahu-perahu
layar mereka yang dari tipe penisi
dan lambo telah mengarungi perairan
nusantara dan lebih jauh dari itu telah berlayar sampai ke Srilangka dan
Filipina untuk berdagang. Kebudayaan maritime dari orang bugis-makassar itu
tidak hanya mengembangkan perahu-perahu layar dan kepandaian berlayar yang
cukup tinggi,tetapi juga meninggalkan suatu hukum niaga dalam pelayaran ,yang
disebut Ade’ Allopikoping Bicaranna Pabbalu’e dan yang tertulis pada lontar
oleh Amanna Gappa dalam abad ke-17. Bakat berlayar yang rupa-rupanya telah ada
pada orang bugis dan Makassar, akibat kebudayaan maritime dari abad-abad yang
telah lampau itu.
Kecuali berlayar untuk
mencari ikan menyusur pantai-pantai Sulawesi selatan,atau berdagang keberbagai
tempat di nusantara. Orang bugis-makassar juga banyak menangkap teripang,seekor
binatang laut (holothurioidea) yang dijual kepada tengkulak-tengkulak untuk
diexsport ke china. Untuk menangkap teripang mereka berlayar sampai jauh
kedaerah kepulauan tanimbar,kedaerah pantai Irian Barat dan ke Australia Utara.
Terutama dalam abad ke-19 yang lalu export teripang itu maju sekali sampai
permulaan abad ke-20 ini,kira-kira 1920 waktu usaha itu mulai mundur.
Sebelum perang dunia ke
II,daerah Sulawesi selatan merupakan daerah surplus bahan makanan,yang
mengexport beras dan jagung ke lain-lain tempat di Indonesia.
Adapun kerajinan rumah tangga
yang khas dari Sulawesi Selatan adalah tenunan sarung sutera dari Mandar dan
Wajo dan tenunan sarung Samarinda dari Bulukumba.
9. Sistem Teknologi dan
Peralatan
Rakkala: alat pengolah tanah dalam sistem pertanian orang Bugis:
Sulawesi Selatan
Petani membajak sawah daengan menggunakan tenaga sapi rakala adalah
salah satu alat pengolah tanah tradisional dalam sistem pertanian orang bugis
di Sulawesi Selatan.Alat tradisional ini berfungsi untuk menggemburkan tanah
sebelum dilakukan penaburan benih dan penanaman padi.Alat ini terdiri dari
beberapa komponen yang terbuat dari kayu-kayu berkualitas tinggi dan sepotong
besi yang berbentuk pipih.Pengoprasian rakkala biasanya dilakukan oleh kaum
laiki-laki dengan dibantu oleh tenaga hewan.
1. Asal-Usul
Kemajuan teknologi pertanian yang semakin pesat
dan serba canggih saat ini tidak serta merta mempengaruhi para petani untuk
beralaih tekhnologi dari alat-alat tradisional ke alat-alat pertanian yang
bertenaga mesin seperti : traktor dalam mengolah tanah pertanian. Meski
demikian,penggunaan bajak tradisional masih banyak dijumpai dibeberapa daerah,
khususnya didaerah pedalaman.
Sebagaian petani didaerah sulawesiselatan
masih menggunakan bajak atau luku yang tergolong sederhana atau bersifat
tradisional dalam mengolah sawah. Bajak tradisional dalam bahasa bugis disebut
dengan rakkala, yaitu sebuah alat pertanian tradisional yang terbuat dari kayu
dan sepotong besi berbebtuk pipih.Alat ini dugunakan oleh para petani untuk
membajak sawah, baik sawah irigasi maupun sawah tadah hujan, untuk
menggemburkan tanah. Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI,terbitan Balai
Pustaka,Tahun 2005) juga mengartikan bajak sebagai perkakas pertanian yang
terbuat dari kayu atau besi untuk menggemburkan dan membalikan tanah
(KBBI,2005:91).
Tidak dapat dipastikan sejak kapan para petani
diSulawesi Selatan menggunakan Rakkala sebagai alat pengolah tanah.
a. Namun,
ada beberapa alasan sehingga alat pengolah tanah tradisional atau rakkala tetap
bertahan hingga saat ini, yaitu bernama, masih terdapatnya areal pertanian yang
sulit dijangkau oleh traktor karena jaraknya jauh, atau karna areal pertanian
tersebut berada didaerah perbukitan yang berbatu.
b. Masih
banyaknya petani yang memelihara hewan-hewan penarik rakkala seperti: sapi,
nkerbau, dan kuda bajak.
c. Kepemilikan
lahan oleh sebagian petani relative tidak begitu luas sehingga penggunaan
rakkala masih dianggap sangat efisien, dan
d. Kekurang
mampuan petani untuk menyewa traktor karna biaya sewa relative mahal (Dawias
Rasyid MS,et al.,1991:149). Hingga saat ini, biaya sewa traktor mencapai
Rp.400.000.00per
hektar sawah.
Sebagain petani di Sulawesi
Selatan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memelihara hewan-hewan penarik
rakkala seperti sapi,kerbau,atau kuda, karena alasan-alasan tersebut di atas.
Dengan demikian, biaya operasional pengolahan tanah dapat ditekan seminimal
mungkin.Selain itu, memelihara ternak juga memberi manfaat lain bagi para petani
jika ada keperluan mendesak.Hewan-hewan peliharaan tersebut dapat menjadi modal
yang dapat dijual kapan saja.
Pembajakan sawah dilakukan
oleh kaum laki-laki dan dibantu oleh tenaga hewan seperti sapi,kerbau, atau
kuda.Membajak sawah dalam bahasa setempat disebut dengan maddakkala sedangakan
para petani yang mengoprasikan alat tersebut dinamakan paddakala.
Petani diSulawesi selatan pada umumnya masih memanfaatkan sapi
atau kerbau sebagai penarik rakkala.Khusus diKabupaten Soppeng, kebanyakan petani
sudah menggunakan tenaga kuda sebagai penarikm bajak.Menurut petani didaerah
ibu, penggunaan tenaga kuda lebih efisien dan lebih praktis dibandingkan dengan
tenaga kerbau atau sapi. Nilai efisiennya adalah kuda lebih kuat dan lebih
cepat menarik rakkala dari pada kerbau atau sapi sedangkan nilai praktisnya
cukup menggunakan 1 ekor kuda saja (Darwas Rasyid MS,et al.,1991:111). Oleh
karena itu seorang petani yang menggunakan tenaga kerbau atau sapi juga harus
menyiapkan babba,yaitu sebuah cambuk yang terbuat dari tangkai bamboo atau
rotan sebesar kelingking. Alat ini berfungsi sebagai pemicu agar hewan penarik
rakkala tersebut dapat berjalan lebih cepat (Rasyid MS,et al.,1991:38).
DAFTAR PUSTAKA
Koentjoroningrat.1993.Manusiadan
Kebudayaan Indonesia.Jakarta:Djambatan
Id.wikipedia.org/wiki/suku_toraja
Poesponegoro,marwati djoened,Nugroho Notosusanto.1984.Sejarah
Nasional Indonesia IV.Jakarta:PN.Balai Pustaka
http://file://D:/MKI/rakakala.htm
Keragaman dalam bahasa Toraja
|
|||
Denominasi
|
Populasi (pada tahun)
|
Dialek
|
|
Kalumpang
|
12,000 (1991)
|
Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
|
|
Mamasa
|
100,000 (1991)
|
Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa
Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
|
|
Ta'e
|
250,000 (1992)
|
Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
|
|
Talondo'
|
500 (1986)
|
||
Toala'
|
30,000 (1983)
|
Toala', Palili'.
|
|
Torajan-Sa'dan
|
500,000 (1990)
|
Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja
Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).
|
|
Sumber: Gordon (2005).
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar